Sandstorm, Cloudy dan Aku

Minggu, 26 Februari 2012
Pagi itu tepat jam 8 aku beranjak meninggalkan rumah. Cuaca mendung dengan hembusan keras angin dari padang pasir, menyeburkan beribu butir pasir ke wajahku. Aku berbisik sudahlah angin, cukup aku saja yang marah hari ini. Hari masih pagi, sinar matahari yang biasa menyinari diam bersembunyi di balik awan hitam, langit menjadi buram. Sekali lagi aku berbisik kamu juga awan, sudahlah hentikan murammu, cukup aku saja yang bersedih. 


Mobil yang membawa kami berhenti di perempatan menanti lampu berubah hijau, angin semakin keras berputar-putar, pasir menari-nari di atas aspal - rupanya kamu sedang bersenang-senang di sana wahai pasir, aku tersenyum getir. Lama terasa menanti lampu tanda berubah hijau, mengapa aku tidak sabar menuju sebuah kehilangan besar.

Setiba di tempat tujuan, jantung ku berdetak lebih kencang, anginpun bertambah marah, berdentam menghantam dinding kaca. Aku menoleh kebelakang, satu pembatas jalan terbang terpental. Mengapa semua harus ikut marah, aku berkeluh kesah. bam..bam..bam.. angin terus menghantam pintu depan. tik..tak..tik..tak.. detik jam mengapa berbunyi keras sekali saat ini. Apa yang hendak kalian sampaikan kepadaku? Genggaman tangan suamiku bertambah erat "sayang..."  itu saja kata yang keluar darinya, dia tahu aku tak butuh apapun selain genggam erat tangannya dan tatapan teduhnya.

Nyeri semakin hebat, meringis menahan sakit, lemas kaki ini membawaku terus masuk menemui perempuan cantik berjas putih, Dr. Wafaa, yang telah berkonspirasi bersama angin, awan dan pasir untuk menghancurkan hatiku. "ya, seperti yang saya bilang sebelumnya, ibu kehilangan bayi ibu, siap untuk di evakuasi ya.". Aku mati rasa, tidak sedih, tidak marah, tidak memikirkan apa yang baru saja telah hilang dari ku.

Terbangun di kamar pemulihan, celana dalam penuh dengan darah. Operasi telah selesai. Baru teringat apa yang telah terjadi. Tiba-tiba aku merasa lelah sekali. Pikiranku melayang layang menuju hari itu...

Kamis, 26 Januari 2012
Jangan sekarang, aku belum siap. batinku sambil menunggu garis merah itu perlahan muncul. Garis merah pertama, aku menahan napas, sambil mencuci tangan aku melirik lagi, ya, dua garis merah: positif!
Malam itu aku menangis dalam diam, mengutuk diriku sendiri telah membiarkan semua ini terjadi. Bila saja luka itu telah sembuh, mungkin tak sesulit ini menerima kehadiran bayi ini ke dalam hidupku. Tidak sekarang Tuhan, tidak saat aku belum percaya lagi terhadap cinta suamiku.

Hari itu, aku salah berkata-kata.

Comments

Popular posts from this blog

Living Another Life

Please Stop Hurting

Twenty Eight & Not So Great